“Jayam Veram pasavati. Dukkham seti parajito. Upasanto sukham seti. Hitva jayaparajayam” Kemenangan menimbulkan kebencian dan yang kalah hidup dalam penderitaan. Setelah dapat melepaskan diri dari kemenangan dan kekalahan, orang yang penuh damai akan hidup bahagia. (Dhammapada, XV: 201)
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi berarti perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan lain sebagainya. Istilah diskriminasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu to discriminate dari bahasa latin discriminat yang artinya memilah atau memisah antara baik dan buruk. Namun pada perkembangannya istilah diskiminasi berkembang menjadi sebuah istilah yang menjelaskan tentang perlakuan merugikan terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu, yang semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, suku, agama, dan jenis kelamin.
Saat ini diskriminasi masih terjadi di masyarakat. Kecenderangan yang sering terjadi, diskriminasi menimpa individu atau kelompok masyarakat yang dianggap lemah atau berbeda dibanding individu atau masyarakat mayoritas yang lebih kuat di sekitarnya. Ada empat jenis diskriminasi yang sering kita jumpai di masyarakat yaitu:
Pertama, diskriminasi gender. Budaya timur yang mendominasi di Indonesia masih menempatkan kedudukan laki-laki berada di atas perempuan. Banyak terjadi perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, prioritas dalam pendidikan, pembagian peran dalam keluarga, bahkan jabatan dalam dunia kerja, serta masih banyak yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan lebih rendah daripada laki-laki.
Kedua, diskriminasi ras. Beberapa kelompok masyarakat sering mengalami perlakuan yang berbeda di suatu negara tertentu. Hal tersebut terjadi karena suatu ras tertentu merasa lebih unggul atau superior dan lebih hebat daripada ras yang lain.
Ketiga, diskriminasi sosial. Ini adalah perlakuan yang berbeda yang cenderung tidak adil terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan kedudukan sosial. Sering kita dengar dan lihat berita tentang kekerasan yang terjadi pada kelompok minoritas di suatu wilayah, kekerasan terhadap perempuan karena dianggap tidak menurut oleh suami, bahkan tindakan diskriminatif juga terjadi di institusi pendidikan dengan maraknya kasus bullying di sekolah.
Keempat, diskriminasi disabilitas. Para penyandang disabilitas sangat sering mengalami diskriminasi, dipandang tidak mempunyai kemampuan, dan sering dianggap tidak layak untuk memperoleh hak aktualisasi diri, selayaknya mereka yang memiliki fisik sempurna.
Ajaran Buddha tidak pernah membenarkan kekerasan dilakukan dengan alasan apapun. Buddha menasihatkan kebencian tidak akan hilang dengan kebencian. Kebencian hanya dapat hilang dengan kasih sayang. Toleransi dan saling menghargai harus dipraktikkan jika ingin ada kedamaian di dunia ini.
Ajaran Buddha selalu menitikberatkan pada cara melenyapkan nafsu-nafsu rendah. Kemarahan yang ada dalam pikiran merupakan penyebab sikap intoleran. Keserakahan adalan sebab dari sikap diskriminatif dan ingin menguasai.
“Diso disam yam tam kayira. Veri va pana verinam. Micchapnihitam cittam. Papiyo nam tato kare”. ”Tidak ada musuh yang dapat menyakiti orang sebesar pikiran orang itu sendiri, akan nafsu kebencian dan kecemburuan.” (Dhammapada, III:42)
Buddha sangat menjunjung tinggi toleransi dan sangat menghargai persamaan hak dan kewajiban. Dikisahkan, Buddha Gotama telah mengangkat seorang pemulung bernama Sunita, yang bahkan oleh masyarakat dikucilkan, direndahkan, karena dianggap sebagai kasta buangan. Sunita tidak mendapatkan hak-haknya. Bahkan, Sunita diberikan batasan dalam melakukan pekerjaan. Masyarakat enggan walaupun hanya sekedar berpapasan dengannya, apalagi memberi pekerjaan yang layak. Buddha Gotama dengan penuh simpati menawarkan Sunita untuk menjadi seorang bhikkhu tanpa sedikitpun merendahkannya.
Dari kisah tersebut, umat Buddha dapat meneladani sikap Buddha yang penuh simpati dan toleransi. Buddha tidak pernah membenarkan sikap seseorang yang menyakiti orang lain, sekalipun dengan alasan melindungi agamanya ataupun alasan lainnya.
Marilah kita sebagai umat Buddha dan sebagai warga Negara Indonesia yang merupakan bagian dari populasi dunia berusaha untuk menghindari sikap diskriminatif. Bertepatan dengan 1 Maret yang ditetapkan sebagai Hari Bebas Diskriminasi, kita semakin menempatkan diri dalam sikap menghargai dan menghormati setiap perbedaan.
Mari kita menyadari jika setiap manusia memiliki hak asasi untuk menjalani kehidupan yang baik. Mari kita membiasakan diri untuk tidak mudah menilai orang lain. Mari kita menjalin komunikasi dan membina hubungan baik dengan individu maupun kelompok masyarakat yang berbeda suku, ras, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan agama.
Mari kita wujudkan pergaulan yang damai saling merangkul tanpa memandang perbedaan sebagai penghalang. Sikap mengembangkan cinta kasih tanpa pilih kasih (metta) sangat patut dikembangkan untuk mewujudkan dunia tanpa diskriminasi. Sungguh tepat sabda Buddha berikut:
“Mettanca sabbalokasmim, manasambhavaye aparimanam, uddham adho ca tiriyanca, asambadham averam asapattam”. “Kasih sayangnya ke segenap alam semesta, dipancarkannya pikirannya itu tanpa batas, ke atas, ke bawah dan ke sekeliling, tanpa rintangan,tanpa benci,dan tanpa permusuhan.” (Khuddakapatha:9)
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta. Semoga semua mahkluk berbahagia
Niluh Putu Widhiasih (Penyuluh Agama Buddha Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar